Wednesday, 3 July 2013

INFEKSI YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN




1.      Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toxoplasma gondii. Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy. Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis.
 BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam, hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia.
Penularannya tergantung pada 3 hal yaitu : lingkungan yang memungkinkan perkembangan agen penyakit, adanya induk semang dan agen penyakit itu sendiri.
Agen penyakit toksoplasmosis meliputi :
1.   Kucing
Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah terinfeksi, kucing mengeluarkan ookista yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran ookista terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan ookista ketika terinfeksi oleh organisme lain.
Feses kucing sudah sangat infeksius. Ookist dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampah setiap hari.
2.         Daging
 Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasma.
2.      Infeksi Traktus Urinarius
Infeksi saluran kencing adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Infeksi ini merupakan infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada wanita karena pendeknya uretra pada wanita sehingga memudahkan masuknya bakteri ke dalam kandung kemih.
Pada wanita hamil memiliki peluang lebih tinggi lagi untuk terserang infeksi saluran kencing tersebut. telah terjadi perubahan-perubahan baik secara anatomik maupun fisiologik maka sistem saluran kemih pada ibu hamil rawan terjadi infeksi. Pada wanita hamil terjadi penurunan tonus dan aktifitas otot-otot ureter yang berakibat terjadinya penurunan kecepatan pengeluaran urin melalui system pengumpul urin. Ureter bagian atas dan pelvis renal mengalami dilatasi dan menyebabkan terjadinya hidronefrosis fisiologis pada kehamilan. Hidronefrosis ani adalah akibat pengaruh progesterone terhadap tonus otot dan peristaltic, dan yang paling penting adalah akibat obstuksi mekanik oleh uterus yang membesar. Juga didapatkan perubahan pada kandung kemih termasuk penurunan tonus, peningkatan kapasitas, dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Selain itu terjadi peningkatan pH urin selama kehamilan memudahkan pertumbuhan bakteri. Ini semua merupakan predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih pada ibu hamil.
Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa, infeksi simtomatik dapat mengenai saluran bawah yang menyebabkan sisititis, atau menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan pielonefritis. komplikasi yang sering timbul pada ibu hamil akibat infeksi saluran kemih adalah pielonefritis, hipertensi, kematian janin dalam kandungan dan anemia.
Kuman penyebab utama infeksi saluran kemih adalah golongan basil gram negative aerobik yang dalam keadaan normal bertempat tinggal di dalam traktus digestifus ( saluran pencernaan). Pada umumnya penyebab infeksi ini adalah 90% adalah E. Coli, Klebsiella-Enterobacter 5% dan Proteus mirabilis, enterococcus, Staphylococcus.
Ada 3 cara terjadinya infeksi yaitu:
Ø   Penyebaran melalui aliran darah yangberasal dari usus halus atau organ lain ke dalam saluran kemih
Ø   Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal dari usus besar ke buli-buli atau ginjal
Ø   Secara asenden yaitu terjadinya migrasi mikroorganisme melalui uretra, buli-buli, ureter dan ginjal.

1.   Gambaran Klinis
Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual dan muntah. Perjalanan penyakit dapat hipotermia sangat bervariasi dengan demam sampai setinggi 40  C. rasa nyeri biasanya sampai 34 C dapat ditimbulkan dengan perkusi disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung banyak leukosit, seringkali dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan pada laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
2.      Penatalaksanaan
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dengan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemberian antibiotic adalah golongan penisilin dengan sprektum luas (piperasilin, mezlosilin, tikarsilin/asam klavilanik) atau sefalosforin sprektum luas ( sefotaksim, sefrisoksim, seftriakson) atau aztreonam atau aminoglikosida. Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi, tetapi walaupun gejala cepat menghilang dianjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10 hari. Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selama sisa kehamilan.
3.      Akibat infeksi saluran kemih pada kehamilan
Pielonefritis akut merupakan penyulit tersering pada kehamilan dapat menimbulkan ancaman yang serius terhadap kesejahteraan ibu maupun janin. Infeksi saluran kemih baik dalam tingkat pielonefritis akut maupun masih bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dapat meningkatkan risiko persalinan preterm, terjadinya abortus dan lahir mati.
4.         3. Hepatitis
Hepatitis infeksiosa disebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang paling sering dijumpai dalam kehamilan.  Pada wanita hamil, pemyebab hepatitis infeksiosa terutama oleh virus hepatitis B.  walaupun kemingkinan juga dapat karena virus hepatitis A atau Hepatitis C.  hepatitis virus dapat terjadi pula setiap satt kehamilan dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya.  Pada trimester I dapat terjadi keguguran, akan tetapi jarang dijumpai kelainan congenital (anomaly pada janin).  Sedangkan pada trimester II dan III sering terjadi premature.  Tidak dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan dengna induksi atau SC, karena akan mempertinggi risiko pada ibu.  Pada hepatitis B janin kemungkinan dapat tertular melalui plasenta, waktu lahir, atau masa neonates, walaupun masih masih kontroversi penularan melalui air susu.
Masa inkubasi hepatitis B bervariasi dari 1-6 bulan. Hepatitis B sering tidak menunjukkan gejala ikhterik atau asimtomatik, walaupun dalam keadaan sangat parah dapat timbul penyakit kuning serta kegagalan hepar yang akut.
1.   Penatalaksanaan
                      a.      Istirahat, diberi nutrisi dan cairan yang cukup, bila perlu IV
                     b.      Isolasi cairan lambung dalam atau cairan badan lainnya dan ingatkan tentang pentingnya janin dipisahkan dengan ibunya
                      c.      Periksa HbsAg
                     d.      Kontrol kadar bilirubun, serum glutamic oksaloasetik transaminase (SGOT), serum glutamic piruvic transaminase (SGPT), factor pembekuan darah, karena kemungkinan telah ada disseminated intravaskular coagulapathy (DIC)
                      e.      Cegah penggunaan obat-obat yang bersifat hepatotoksik
                      f.      Pada ibu yang HbsAg positif perlu diperiksa HbsAg anak karena kemungkinan terjadi penularan melalui darah tali pusat
                     g.      Tindakan operasi seperti SC akan memperburuk prognosis ibu
                     h.      Pada bayi yang baru dilahirkan dalam 2x24 jam diberi suntikan anti hepatitis serum
4. Hiv/Aids
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV.  Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya.  Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi.  Penelitian di AS dab Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20-40%.  Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan, atau melalui ASI.  Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu dengna HIV positif  tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan lain-lain. Penderita AIDS mempunyai gejala awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring maupun vagina.  Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis carinii pneumonia.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan.  Pemberian AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi oportunistik.  Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya dalam kehamilan.  Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan.  Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure.  Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
             a.      Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
            b.      Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
             c.      Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
            d.      Gunakan pelindung mata (kacamata)
             e.      Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
             f.      Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
            g.      Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta    dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.  Untuk perawatan bayi, sebaiknya dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini.  Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah, harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi.  Perawatan tali pusat harus dijalankan dengan cermat.  Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita virus HIV.  Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan.  Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya perubahan ke arah negatif atau tidak.  Infeksi pada bayi mungkin baru tampak pada usia 12-18 bulan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita infeksi HIV dibagi menjadi 2:
a.    Infeksi dini HIV dengan mencegah timbulnya infeksi oportunistik serta memperpanjang hidup penderita.
b.   Tahap lanjut dengan memberikan pengobatan untuk infeksi oportunistik dan keganasan serta perawatan pada fase terminal.
5.         Typus Abdominalis
Typus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagela) dan antigen Vi.
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Penyakit ini mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Dalam 60-80 % hasil konsepsi keluar secara spontan : lebih dini terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya kehamilan.
 Bakteri masuk melaluin saluran cerna, dibutuhkan jumlah seratus ribu sampai satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah (bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii menuju keorgan sistem retikoendotial.
1.   Gejala klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak semangat. Pada kasus khas biasa ditemukan gejala klinis berupa demam, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran
2.   Komplikasi
Pada tifus abdominalis dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis, miningitis, kolesitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatis, dehidrasi, asidosis.
3.   Pengobatan
a.          Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.
b.         Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi mengikat sakit yang lama, lemah dan anoreksia dll.
c.          Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu istirahat mutlak, berbaring terus ditempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.
d.         Diet makanan harus cukup mengandung kalori, cairan dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak meragsang dan tidak banyak menimbulkan gas.
e.          Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai.
f.          Obat terpilih adalah kloramferikol 100 mg/kg BB/hari dai bagi dalam 4dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Bla pasien tidak serasi/alergi dapat diberikan golongan obat lain misalnya penisilin atau kortimoksazol.
g.         Pengobatan dengan kloramfenikol atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah, semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tifus abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.

1 comments:

 
Kebidanan Full Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template